KASUS PENINDASAN MUSLIM UIGHUR
Dilansir mata-matapolitik.com pada 25 Desember 2019 pukul 18.42 WIB bahwa lebih dari 1 juta muslim Uighur ditahan di pusat-pusat penahanan di provinsi Xinjiang, China paling barat. Para pemimpin dan pakar Uighur dari luar China telah memperingatkan bahwa situasinya dapat memburuk, dan “pembunuhan massal” tidak dapat dikesampingkan. Benarkah penindasan Muslim Uighur di Xinjiang sudah terjadi sejak lama?.
Dilasir oleh m.cnnindonesia.com
(19/11) Keberadaan etnis Uighur di Provinsi Xinjiang,China terus menjadi sorotan dunia terutama setelah pemerintah Tiongkok diduga menahan lebih dari satu juta etnis minoritas Muslim itu di tempat penampungan layaknya kamp konsentrasi.
Laporan penahanan sewenang-wenang itu mencuat setelah kelompok pegiat hak asasi manusia, Human Rights Watch, merilis laporan pada September 2018 lalu. Laporan itu berisikan dugaan penangkapan sistematis yang menargetkan etnis Uighur di Xinjiang.
Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Uighur di Xinjiang, pihak berwenang China telah melakukan penahanan massal terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang sejak 2014 lalu.
Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Uighur di Xinjiang, pihak berwenang China telah melakukan penahanan massal terhadap Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang sejak 2014 lalu.
Seperti dikutip www.or.id bahwa
Mahfud MD mengatakan, Indonesia harus menggunakan jalu diplomatik untuk menghentikan dugaan penindasan Muslim Uighur di Xinjiang China. Hal ini sesuai dengan dengan Alinea I Pembukaan UUD 1945 dimana bangsa Indonesia merebut kemerdekaan untuk menjaga derajat kemanusiaan dari segala bentuk penjajahan.“Menurut Alinea I Pembukaan UUD 1945 kita merebut kemerdekaan utk menjaga derajat kemanusiaan dari penistaan manusia lain (panjajahan). Indonesia hrs menggunakan jalur diplomatik utk menghentikan penindasan thd muslimin di Uighur sesuai dgn tujuan negara yg keempat. Tdk boleh diam,” tulis Mahfud MD di akun Twitternya, Rabu (19/12).
Seperti dilansir dari Rmol.id pada kamis 26 Desember 2019 pukul 23:21 WIB
Pernyataan Katib Aam PBNU, Yahya Cholil Staquf yang menyamakan kasus dugaan pelanggaran HAM kepada etnis Uighur di Xinjiang China mirip dengan kasus sparatisme di Papua ditanggapi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekjen MUI, Anwar Abbas menilai, pangkal masalah kasus tersebut adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Gerakan sparatisme berangkat dari diskriminasi dan penindasan, seperti yang terjadi di Uighur yang dilakukan oleh pemerintah China.
Sekjen MUI, Anwar Abbas menilai, pangkal masalah kasus tersebut adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Gerakan sparatisme berangkat dari diskriminasi dan penindasan, seperti yang terjadi di Uighur yang dilakukan oleh pemerintah China.
"Kalau bagi saya, biang keladinya itu (pelanggaran HAM). Yang jadi pangkal sebab musabab diinjak-injaknya hak asasi rakyat Uighur, terutama hak beragama mereka, akhirnya muncullah pemikiran untuk memisahkan diri," ujar Anwar di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis (26/12).
Karena itu, Anwar menilai kasus di Uighur murni pelanggaran HAM lantaran kebebasan bergama yang dirampas oleh pemerintah China.
Komentar
Posting Komentar